TEMPO.CO, Yogyakakarta -Pengukuhan Gusti Bendara Pangeran Haryo Prabukusumo sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono XI oleh sekelompok orang yang menamakan diri Paguyuban Trah Ki Ageng Giring-Ki Ageng Pemanahan pada Ahad lalu ditentang banyak pihak. Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat, mengatakan pengukuhan tersebut tak lebih dari upaya adu domba.
“Kalau ada yang menobatkan Gusti Prabu sebagai raja tanpa kehadirannya, kan jadi tanda tanya. Maksudnya apa?” tanya cucu Hamengku Buwono VIII yang biasa disapa Romo Tirun itu saat ditemui Tempo di Tepas Dwarapura Keraton, 13 Juli 2015.
Dia mempertanyakan tempat pengukuhan yang bukan di Sitihinggil keraton, melainkan di petilasan Keraton Ambarketawang di Kecamatan Gamping, Sleman. “Unsur-unsur memecah-belah dan mengadu domba sudah tampak,” ucap Romo Tirun.
Baca juga:
Heboh Pohon Uang, Duit Rp 2,6 M Mendadak Jatuh Bak Daun!
Majikan Tergoda Rayuan Pembantu, Rp 51 Juta Raib
Romo menyatakan tidak mengenal paguyuban Trah Ki Ageng Giring-Ki Ageng Pemanahan serta pemimpinnya, Satrio Djojonegoro. Menurut Romo Tirun, semua keluarga keraton adalah keturunan Ki Ageng Pemanahan. Lantaran anaknya, yaitu Panembahan Senopati, adalah Hamengku Buwono I, yang selanjutnya menurunkan raja-raja Keraton Yogyakarta “Lha, ini yang mengukuhkan malah muda-muda. Siapa mereka?” ujarnya.
Pihak di luar keraton juga menentang pengukuhan Prabukusumo tersebut. Aktivis Sekretariat Bersama (Sekber) Keistimewaan, Agung Nurharjanto, menilai penobatan tersebut bisa membuat konflik di keraton kian meruncing. Sekber Keistimewaan menuding kelompok tersebut sengaja ingin memperkeruh suasana. “Mereka orang yang tak punya otoritas apa pun soal penobatan, kami tak pernah kenal orang-orang ini,” ujar Agung.
Selanjutnya: Komandan organisasi...